Ingat KRL, Ingat Jakarta

Semenjak video keganasan KRL Gerbong Wanita viral, kepadatan KRL menjadi pembahasan hangat banyak media. Saya antara kaget tidak kaget waktu lihat video tsb. Tidak kaget karena, pada kenyataannya, gerbong wanita memang lebih gila dibandingkan dengan gerbong campur. Kaget karena yang saya alami (untungnya) tidak sampai sebegitunya.

Ketika dulu rutin menggunakan KRL saat magang, saya lebih memilih untuk menaiki gerbong campur. Selain karena ada kemungkinan bahwa saya diberi tempat duduk oleh laki-laki, fakta yang saya dapatkan ketika beberapa kali menaiki gerbong wanita adalah: gerbong wanita lebih ganas. Sesuai dengan pengalaman, di gerbong wanita lebih dorong-dorong dan teriak-teriak, seperti "Allahu akbar!" atau "Astaghfirullah!" ketika kereta mengerem karena banyak yang tidak bisa menahan badannya sendiri sehingga jatuh ke badan orang lain. Mungkin juga karena di dalamnya banyak ibu-ibu yang mulai atau sudah berumur dan memang kondisi badannya tidak sekuat itu untuk menopang badan sendiri, apalagi sambil berdesak-desakan.

Hal ini menjadi dilema juga bagi para wanita. Alasan saya menaiki gerbong wanita pada saat itu adalah karena Mama yang menyarankan, "Banyak laki-laki 'iseng'" katanya. Namun ketika beberapa kali mencoba gerbong wanita dan mendapatkan realita seperti itu, saya selalu menghindari gerbong wanita kecuali di waktu-waktu kereta sepi penumpang.

Sejauh ini, saya bersyukur karena belum pernah mengalami pengalaman buruk mengenai 'laki-laki iseng' yang disebutkan oleh Mama. Sayangnya, hal ini sudah seringkali dialami oleh wanita-wanita lain di luar sana, yaitu pria yang kedapatan bertindak tidak senonoh seperti menempelkan atau bahkan menggesek-gesekkan kelaminnya ke badan wanita di dalam gerbong kereta. Pun banyak didapati artikel atau kiriman sosial media yang menceritakan pengalaman buruknya dan mewanti-wanti wanita lainnya agar waspada akan hal-hal serupa.

Peristiwa ini menjadi hal yang seolah menghantui para penumpang wanita sehingga mereka tidak bisa dengan sepenuhnya nyaman menaiki transportasi massal seperti KRL. Bagaimana tidak, berdesakkan menjadi hal yang selalu terjadi di waktu-waktu tertentu, bahkan terkadang, sampai membuat agak susah bernapas. Ketika situasinya seperti itu, siapa yang tahu dan sadar jika ada penjahat-penjahat kelamin berkeliaran dan melancarkan aksinya? Si Korban mungkin sadar, namun acapkali terjadi Korban pada akhirnya diam saja entah karena takut atau malu.

Saya bukan pengguna rutin KRL. Saya hanya menggunakan KRL ketika ada keperluan di Jakarta di tanggal ganjil. Namun beberapa waktu lalu ketika kembali menaiki KRL di waktu ramai penumpang pulang bekerja, desak-desakan penumpang yang saya alami lebih parah dari sebelum-sebelumnya. Ketika itu saya tidak bisa bergerak satu cm pun, terjepit, susah bernapas, dan (yang paling saya tidak suka) sangat amat menempel dengan lawan jenis. Tentu saja, selama perjalanan yang situasinya sudah sangat tidak enak, saya semakin tidak nyaman dengan ketakutan hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang telah disebutkan di atas itu terjadi. Semenjak itu, walaupun terjebak macet berjam-jam di jalan dan walaupun saya harus agak memutar jalur atau menunda/mempercepat waktu berangkat/pulang demi menyiasati area dan waktu pemberlakuan ganjil genap, saya lebih memilih untuk menyetir.

KRL menjadi salah satu (atau mungkin hanya sebagian kecil) bukti kekerasan hidup di Jakarta. Nyatanya, di zaman yang sudah semodern ini, hukum rimba pun masih berlaku, siapa yang kuat dia yang menang.

Salam!

Komentar