(Bukan) Profesi Biasa

Suatu hari saya pernah ditanya pendapat perihal wanita yang katanya lebih baik dasteran saja dan urus anak-suami di rumah. Topik ini selalu dan mungkin akan terus menjadi suatu hal yang menarik bagi saya, karena jujur saja, saya sendiri adalah salah satu wanita yang membenarkan beberapa nilai patriarki walaupun tidak secara keseluruhan. (Soal patriarki, mungkin lain kali akan saya bahas di laman ini, atau saya pun sangat terbuka dengan diskusi langsung bagi siapa pun yang tertarik.)

Satu hal yang harus diketahui pertama dan saya tekankan adalah saya berdiri pada pendapat bahwa mengurus anak dan suami merupakan kewajiban seorang wanita, bukan pilihan. Menurut saya, Ibu Rumah Tangga (IRT) bukan suatu pekerjaan yang bisa ditaruh kata 'hanya' sebelumnya. 'Hanya Ibu Rumah Tangga', oh jangan sekali-kali, tolong! Ah, ya, jika kalian tahu betul seberat apa bebannya untuk menjadi satu yang sejati, tanpa diminta pun kalian tak akan berani sakiti. 

Bagi seorang wanita, tidak akan pernah ada pilihan 'urus anak dan suami' atau 'berkarier' (kecuali memang wanita tersebut memilih untuk tidak menikah). Kalau seorang wanita memilih pilihan kedua, pilihan pertama harus tetap dipilih. Namun, bukan berarti dengan begitu saya sependapat bahwa wanita tidak boleh bekerja. Ingin bekerja? Silakan, tidak ada yang melarang, terutama Tuhan. Khadijah, istri pertama Rasulullah SAW, saja berdagang. Tetapi begini, menurut saya pribadi, keseimbangan itu omong kosong, akan selalu ada yang berat sebelah, walaupun sedikit. Mungkin tidak semua setuju jika disebut sebagai omong kosong, tetapi bukankah setuju jika saya katakan bahwa ilmu tentang keseimbangan hidup itu memang sulit? :)

Lalu akan terpikir mengenai 'beban ganda'? Oh, makanya Tuhan dengan sangat baik membagi peran antara pria dan wanita dalam suatu rumah tangga. Soal ini, jangan munafik. Dari sebelum para aktivis feminis lahir, Tuhan sudah ciptakan manusia menjadi dua; pria dan wanita. Kalau Tuhan tidak memberi fungsi (dan/atau apapun) yang berbeda di antara keduanya, Tuhan tidak akan membuatnya menjadi dua. Ini logika dasar, bukan? Namun, sungguhlah, Tuhan tidak membuatnya menjadi dua karena alasan sesepele menginginkan laki-laki lebih agung (atau diagungkan). Tidak boleh prasangka buruk dengan Tuhan. Pun terlalu banyak bukti bahwa Tuhan justru mengagungkan wanita sebagai ciptaannya.

Dengan demikian, bukan berarti juga saya tidak setuju dengan wanita yang mengejar pendidikan hingga tinggi. Pendidikan itu hak setiap individu. Menjadi individu yang paham tentang perkembangan dunia dan miliki keahlian tentang apapun yang diminati itu juga hak setiap wanita. Pun kelak itu akan jadi bekal untuk tumbuh kembangkan generasi yang lahir dari rahimnya. Perlu diingat bahwa mendidik membesarkan anak bukan hanya butuh ASI, melainkan juga otak yang berisi, karena yang butuh dikenyangkan dari seorang anak tidak hanya perut, tapi otak juga. Jadi, pintar-pintarlah! :)

Menjadi istri itu tugas berat. Menjadi ibu rumah tangga itu profesi hebat.
Sehubungan dengan adanya hak, tentu juga ada kewajiban. Apalagi kita semua pun tahu bahwa akan selalu ada tanggung jawab yang mengikuti sebuah pilihan yang diambil. Begitu pun soal menikah. Kalau merasa belum mampu menanggung segala kewajiban dan tanggung jawabnya, ya, jangan menikah. Makanya disebutkan bahwa 'menikah ketika mampu', mampu di sini bukan hanya perihal finansial saja, namun juga batin yang siap berkomitmen soal hati juga soal kewajiban dan tanggung jawab yang mengiringi. Memang ada orang-orang yang berpendapat bahwa menikah itu harus disegerakan, namun kembali lagi, 'segera' itu sendiri relatif, bukan? Tetap saja, 'Segera' tidak akan menjadi baik ketika nantinya tidak keruan dan banyak yang terbengkalai. Perlu diingat, menikah bukan soal diri sendiri, tetapi melibatkan hati bahkan kehidupan orang lain. Jangan gegabah.

Bagaimanapun, di luar itu semua, berkarier ataupun tidak berkarier adalah suatu hal yang (seharusnya) bisa dirundingkan dengan pasangan. Peran masing-masing individu dalam suatu rumah tangga adalah suatu hal yang tidak saklek, kembali lagi kepada bagaimana serta sejauh mana satu sama lain dapat memberi toleransi dan ruang kepada yang lainnya. Menikahi pasangan ketika sebenarnya tidak sependapat atau tidak sepakat mengenai peran masing-masing dalam rumah tangga (atau mengenai hal apapun yang sebenarnya tidak dapat dikompromi/dimaklumi) karena alasan 'sudah terlanjur cinta' adalah hal kekanak-kanakkan yang perlu dicoret dalam daftar pertimbangan pernikahan siapapun. Menikah itu bukan untuk satu atau dua tahun, tapi untuk sepanjang sisa hidup, tidak lupa, kan?

Satu hal yang perlu diingat adalah pilihan untuk tidak memiliki pekerjaan lain selain IRT itu harus dilakukan dengan kerelaan 100%. Tidak ada satu orang pun (baik dari gender maupun seks apapun) yang berhak atau boleh memaksa seorang wanita untuk melakukan pilihan itu. Bukan kerelaan namanya jika dipaksa, bukan? :)

Bagaimanapun saya berpendapat tentang ini, saya pribadi pun tidak akan memilih pasangan hidup yang melarang hak saya tentang karier, pendidikan, dan/atau tentang apapun, karena bagaimanapun, saya tetap mempunyai hak untuk berkarier, begitu juga kalian, wanita-wanita cemerlang di luar sana. :)

Salam!

Komentar