Siapa yang Sebenarnya Butuh Maaf?

(Ditulis pada mudik lebaran Juni 2017)

Hari Raya Idul Fitri sangat erat sekali kaitannya dengan maaf memaafkan. Makna sebenarnya dari Hari Raya ini memang seorang muslim yang kembali Fitrah setelah sebulan penuh berjuang melawan hawa nafsu dan memohon maaf kepada kerabat dan sesama.

Namun tidak jarang juga ditemukan bahwa maaf-memaafkan ini hanya ritual yang dilakukan dengan dasar "biasanya begitu" atau "etisnya begitu", bukan berangkat dari hati yang setulusnya memohon dan memberi maaf. Pun bisa jadi saya termasuk.

Berbicara soal maaf memaafkan, akhir-akhir ini saya semakin menyadari bahwa setiap orang merespons segala apa yang dipikirkan dan dirasakannya dengan cara yang berbeda, apalagi perihal respons terhadap apa yang mengecewakan dan/atau menyakiti. Betul bahwa terlalu banyak faktor yang melatarbelakangi suatu respons tersebut. Baik kebiasaan, pengalaman, lingkungan, karakter, tingkat kedewasaan, kedalaman perasaan, besar harapan, dan lain sebagainya.

Tidak, tidak ada yang salah. Keragaman komposisi dari faktor-faktor tersebut sudah pasti menghasilkan respons yang berbeda-beda dari tiap individunya. Contohnya yang sangat lekat terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita; suatu pasangan yang putus cinta kemudian memblokir semua media sosial, bahkan menghapus kontak Sang Mantan. Contoh lainnya; seseorang yang mengurung diri di dalam kamar karena kecewa dengan hasil seleksi perguruan tinggi atau seleksi kerja.

Mungkin sebagian orang akan berkata, "Kenapa lebay banget, sih, gitu doang?", atau "Nggak perlu segitunya, kali." Tapi sungguh, jangan pernah dengarkan orang lain. Selama tidak menyakiti orang lain, kalian punya segala hak untuk menerapkan berbagai cara dalam mengatasi dan berdamai dengan rasa sakit dan/atau kecewamu. Jika memutus segala hubungan dengan mantan dengan cara memblokir memberimu ketenangan, sila lakukan. Jika mengurung diri sejenak memberimu kedamaian, sila lakukan. Sekali lagi, selama tidak menyakiti orang lain dan dirimu sendiri, tidak ada yang salah.

Namun, sudah tentu, untuk sampai pada kata "memaafkan" bukan hal yang akan terjadi sekejap mata. Memaafkan memang suatu proses yang panjang. Tidak perlu terburu. Jangan paksa dirimu sendiri. Ini hidupmu, kamu yang paling tahu kapan dan bagaimana. 

Namun, yang perlu kau ingat, memaafkan bukan soal memberi kesenangan kepada orang lain, melainkan memberi ketenangan kepada diri sendiri. Beri waktu kepada hatimu untuk menghela napas, mencerna segala peristiwa, melapangkan hati, memahami, kemudian menerima. 

Sebelum melangkah jauh, mari diputar ulang, selama ini kita sibuk memaksa diri untuk memaafkan atau sekedar pura-pura sudah memaafkan orang lain, pernahkah sekali usahamu digunakan untuk memaafkan dirimu sendiri? Sudahkah benar-benar memaafkan dirimu sendiri?
Maafkan dirimu yang mungkin pernah dengan bodohnya mencintai dengan sangat ia yang ternyata melukai.
Maafkan dirimu yang mungkin pernah rela berurai terlalu banyak air mata untuk sesuatu/seseorang yang sebenarnya tidak layak.
Maafkan dirimu yang mungkin pernah dengan ceroboh melakukan kesalahan yang berakibat fatal.
Maafkan dirimu yang mungkin pernah dengan kurang sungguh memperjuangkan yang seharusnya kau perjuangkan.
Maafkan dirimu yang mungkin pernah melewatkan kesempatan hebat yang tidak akan datang kembali.
Maafkan pula dirimu yang mungkin pernah melukai ia yang tak seharusnya kau lukai.
Maafkan dirimu. Minta maaflah pada dirimu...
Lepaskan segala sakit dan kecewamu...
Berdamailah dengan dirimu...

Hidup adalah tentang penerimaan. Penyangkalan atas apa yang sudah terjadi tidak membuatnya hilang dari ingatan. Penolakan atasnya pun tak membuat langkah menjadi ringan.

Semoga secepatnya kau bisa kembali meramai segala rasa.
Juga semoga secepatnya kau bisa kembali merajut segala asa.

Ku tunggu kembali senyum tanpa bebanmu, wahai hati-hati yang baik! :)

Salam!

N.b.: Ini juga wejangan untuk diri sendiri, pun pengingat untuk terus memahami dan tak menghakimi orang lain.

Komentar