Tren Jual Beli Pahala

Akhir-akhir ini saya sedikit terusik dengan cara beberapa orang mencari nafkah. Kejadian yang membuat saya sampai terpikir untuk menceritakan di medium ini terjadi beberapa minggu yang lalu (maaf, baru sempat di-post).

Malam itu di perjalanan pulang kantor ada pengamen yang naik ke bus yang saya naiki. Bermodal kecrekan yg terbuat dari botol terisi beras, ia bernyanyi. Sewaktu bernyanyi, saya baru tahu kalau dia ternyata gagu. Iya, dia gagu tapi dia memilih untuk jadi pengamen. Mohon maaf sebelumnya, tapi ini yang justru cukup mengusik saya. Bukan soal keberadaannya, tapi pilihannya. Betul bahwa ketidaksempurnaan indera itu bukan dia yang mau, saya bersimpati perihal yang satu ini. Tetapi  pekerjaan yang kita lakoni sehari-hari adalah pilihan. Kamu tahu kamu punya kemampuan/kelebihan di bidang tersebut, maka kamu pilih pekerjaan tersebut.

Di luar ketidaksempurnaannya yang adalah bukan keinginan dia, pilihannya menjadi pengamen itu justru membuat saya sempat berpikir: "Apa dia justru sengaja memanfaatkan hal tersebut untuk menarik simpati, lalu mendapatkan uang?"

Hal ini lah yang mengusik saya. Mungkin akan ada yang berpendapat bahwa saya tidak berkeperimanusiaan, silakan. Tapi bagaimana tidak, pikiran memanfaatkan tersebut muncul karena: Pertama, dia bahkan 'bernyanyi' kurang dari 5 menit lalu selesai dan keliling meminta uang, ketika bahkan pengamen lain paling tidak bernyanyi 10 menit. Kedua, saya yakin tidak mungkin dia tidak sadar bahwa hal paling dasar yang dibutuhkan untuk menyanyi adalah suara. Atau untuk mengamen, bisa juga mengandalkan kemampuan bermain musik (instrumental) jadi tidak perlu menyanyi. Tapi nyatanya, bukan dua-duanya yang ia tawarkan. Ketiga, di luar suaranya, keadaan fisiknya sempurna, di mana alasan "terpaksa karena tidak ada atau tidak bisa melakukan pekerjaan lain" menjadi tidak valid karena ia bisa saja melakukan pekerjaan fisik.

Itu lah mengapa saya menjadi merasa terusik. Sebelum saya bertemu dia, saya beberapa kali pernah merasa dipermainkan perikemanusiaannya. Tiga kali saya bertemu orang tak dikenal di jalan yang memasang muka memelas, berpakaian agak lusuh, dan tiba-tiba mencegat menceritakan bahwa mereka baru tertimpa musibah. Pertama, keluarga kecil (Ayah, Ibu, batita) yang baru kecopetan hingga tidak ada ongkos pulang dan tidak tau harus ke mana. Kedua, kakek-kakek yang kebablasan naik bus karena tertidur hingga tempat tujuan terlewat, padahal (katanya) ia mau ke rumah sakit dan (katanya) uangnya pas-pasan untuk ongkos dan biaya rumah sakit (dan ia menambahkan, anaknya sudah tidak peduli dengan dia). Ketiga, ibu setengah baya yang (katanya) sakitnya kambuh sehingga pusing tak tertahan tapi ditawari ke rumah sakit bilang tidak ingin mengganggu kesibukan saya, mau minta tolong dibantu ongkos saja (?).

Seminggu setelah malam itu, saya kembali bertemu dengan pengamen itu di sebuah bus. Kali ini ia membawa gitar. Melihatnya membawa gitar, saya sempat merasa senang dan merasa bersalah dalam satu waktu. Senang karena ternyata mungkin pikiran saya sebelumnya salah, ternyata ia (mungkin) bisa bermain gitar. Merasa bersalah karena saya sempat berpikiran jahat dan ternyata ia (mungkin) bisa bermain gitar.

Berbeda dengan malam sebelumnya, malam itu ia juga membawa beberapa lembar kertas yang dibagikan kepada penumpang sebelum ia mulai 'bernyanyi'. Saya cukup menanti-nanti permainan gitarnya untuk memberi pelajaran kepada diri agar tidak boleh berprasangka buruk. Ia mulai 'bernyanyi' tetapi gitarnya belum mulai dimainkan. Ia mulai bermain gitar setelah 1 atau 2 menit ia 'bernyanyi'. Namun kembali quote-quote masa kini yang berkata, "Expectation leads to disappointment" itu memberi satu lagi poin benar dalam kehidupan, karena nyatanya pengamen tersebut sama sekali tidak bisa bermain gitar. Ia hanya meng-genjreng gitar yang tidak menghasilkan suatu nada apapun. Reflek saya? Sudah jelas; geleng-geleng kepala.

Kemudian saya semakin merasa tidak karuan ketika membaca surat yang ia bagikan kepada penumpang. Ini isi suratnya:

Kata-kata yang saya sorot dalam surat itu adalah: "Tuna Rungu dan Tuna Wicara", "Sumbangan untuk kehidupan sehari-hari", "Mohon maklum". Malam itu, saya benar sungguh kecewa, karena ternyata pikiran buruk saya yang cukup mengusik itu memang sebuah realita; dia justru sengaja memanfaatkan kekurangannya untuk menarik simpati, lalu mendapatkan uang.

Jadi, apa sekarang rasa kasihan dan pahala adalah hal yang sedang tren untuk diperjualbelikan?

Salam!

Komentar