Postingan

We all will remember this fight one day

Someday, we will remember these days, When the sound of ambulance sirens prick up our ears every single day, For I-don't-know-how-many times a day. It is at close quarters. Yet, we cannot see how close it is. "Is it for our neighbor?" "Is it for people we know?" We are locked home. Otherwise, we (might) die. After weeks, People are dying of boredom for staying home. Social media is no longer fun, It takes a toll on our sanity; People's blaming each other, The news on death toll climbing quickly, The news on the global economy falling apart, Yet, we are barely able differentiating which news isn't fake. Confused between staying up-to-date or ignoring things, As every line we read seemed scary. While out there, People are literally dying from a tiny little creature, called virus. The governments are forced to roll with the punches, Rushing this pandemic comes to an end. The medical frontliners sweat blood to save the lives of the i

A half-cooked school zoning policy: go or not go?

June seems to become the regular month of protest for Indonesian parents whose child is going to enter a new school because the registration period for new students begins in this month. This year is not exceptional. The Ministry of Education and Culture of Indonesia (Kemdikbud RI) reimplements its school enrollment zoning system policy this year based on the Ministerial Decree No. 51/2018 on New Student Admission (PPDB) 2019. The question is whether or not it is the right time to implement this policy. Through the decree, the Minister of Education and Culture Muhajir Effendy obligates all public school, from elementary to senior high school, to accept at least 90 percent of students whose family register domiciled in the same zoning area as the school location [1] . He stated that the zoning system would reverse the disadvantageous culture that has been going on for decades, namely the public paradigm of favorite or non-favorite school. To date, the existence of ‘favo

Siapa yang Sebenarnya Butuh Maaf?

(Ditulis pada mudik lebaran Juni 2017) Hari Raya Idul Fitri sangat erat sekali kaitannya dengan maaf memaafkan. Makna sebenarnya dari Hari Raya ini memang seorang muslim yang kembali Fitrah setelah sebulan penuh berjuang melawan hawa nafsu dan memohon maaf kepada kerabat dan sesama. Namun tidak jarang juga ditemukan bahwa maaf-memaafkan ini hanya ritual yang dilakukan dengan dasar "biasanya begitu" atau "etisnya begitu", bukan berangkat dari hati yang setulusnya memohon dan memberi maaf. Pun bisa jadi saya termasuk. Berbicara soal maaf memaafkan, akhir-akhir ini saya semakin menyadari bahwa setiap orang merespons segala apa yang dipikirkan dan dirasakannya dengan cara yang berbeda, apalagi perihal respons terhadap apa yang mengecewakan dan/atau menyakiti. Betul bahwa terlalu banyak faktor yang melatarbelakangi suatu respons tersebut. Baik kebiasaan, pengalaman, lingkungan, karakter, tingkat kedewasaan, kedalaman perasaan, besar harapan, dan lain sebagai

Tren Jual Beli Pahala

Gambar
Akhir-akhir ini saya sedikit terusik dengan cara beberapa orang mencari nafkah. Kejadian yang membuat saya sampai terpikir untuk menceritakan di medium ini terjadi beberapa minggu yang lalu (maaf, baru sempat di- post ). Malam itu di perjalanan pulang kantor ada pengamen yang naik ke bus yang saya naiki. Bermodal kecrekan yg terbuat dari botol terisi beras, ia bernyanyi. Sewaktu bernyanyi, saya baru tahu kalau dia ternyata gagu. Iya, dia gagu tapi dia memilih untuk jadi pengamen. Mohon maaf sebelumnya, tapi ini yang justru cukup mengusik saya. Bukan soal keberadaannya, tapi pilihannya. Betul bahwa ketidaksempurnaan indera itu bukan dia yang mau, saya bersimpati perihal yang satu ini. Tetapi  pekerjaan yang kita lakoni sehari-hari adalah pilihan. Kamu tahu kamu punya kemampuan/kelebihan di bidang tersebut, maka kamu pilih pekerjaan tersebut. Di luar ketidaksempurnaannya yang adalah bukan keinginan dia, pilihannya menjadi pengamen itu justru membuat saya sempat berpikir: &

(Bukan) Profesi Biasa

Suatu hari saya pernah ditanya pendapat perihal wanita yang katanya lebih baik dasteran saja dan urus anak-suami di rumah. Topik ini selalu dan mungkin akan terus menjadi suatu hal yang menarik bagi saya, karena jujur saja, saya sendiri adalah salah satu wanita yang membenarkan beberapa nilai patriarki walaupun tidak secara keseluruhan. (Soal patriarki, mungkin lain kali akan saya bahas di laman ini, atau saya pun sangat terbuka dengan diskusi langsung bagi siapa pun yang tertarik.) Satu hal yang harus diketahui pertama dan saya tekankan adalah saya berdiri pada pendapat bahwa mengurus anak dan suami merupakan kewajiban seorang wanita, bukan pilihan . Menurut saya, Ibu Rumah Tangga (IRT) bukan suatu pekerjaan yang bisa ditaruh kata 'hanya' sebelumnya. 'Hanya Ibu Rumah Tangga', oh jangan sekali-kali, tolong! Ah, ya, jika kalian tahu betul seberat apa bebannya untuk menjadi satu yang sejati, tanpa diminta pun kalian tak akan berani sakiti.  Bagi seorang wanita, t

Review Singkat Roman Bumi Manusia

Gambar
Sudah beberapa tahun yang lalu sebenarnya saya selesai membaca buku ini. Namun, berhubung saat itu blog ini belum lahir. Jadi, apa salahnya sekarang saya berbagi di sini 😁 "Aku adalah manusia. Tentu yang tak sempurna. Karena kealpaan dan lupa tak bisa lepas dariku. Aku hanyalah manusia biasa. Aku bukanlah dewa dengan segala ke-Maha-annya. Sempurna adalah kata yang tidak untukku."  "Aku lebih mempercayai ilmu pengetahuan, akal. Setidak-tidaknya padanya ada kepastian-kepastian yang bisa dipegang." "Pendapat umum perlu dan harus diindahkan, dihormati, kalau benar. Kalau salah, mengapa dihormati dan diindahkan? Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam pikiran. Itulah memang arti terpelajar itu."  "Semakin tinggi sekolah, harus semakin mengenal batas. Kalau orang tak tahu batas, Tuhan akan memaksanya tahu dengan cara-Nya sendiri." Di atas itu penggalan dr novel Bumi Manusia. Sala

Ingat KRL, Ingat Jakarta

Semenjak video keganasan KRL Gerbong Wanita viral, kepadatan KRL menjadi pembahasan hangat banyak media. Saya antara kaget tidak kaget waktu lihat video tsb. Tidak kaget karena, pada kenyataannya, gerbong wanita memang lebih gila dibandingkan dengan gerbong campur. Kaget karena yang saya alami (untungnya) tidak sampai sebegitunya. Ketika dulu rutin menggunakan KRL saat magang, saya lebih memilih untuk menaiki gerbong campur. Selain karena ada kemungkinan bahwa saya diberi tempat duduk oleh laki-laki, fakta yang saya dapatkan ketika beberapa kali menaiki gerbong wanita adalah: gerbong wanita lebih ganas. Sesuai dengan pengalaman, di gerbong wanita lebih dorong-dorong dan teriak-teriak, seperti "Allahu akbar!" atau "Astaghfirullah!" ketika kereta mengerem karena banyak yang tidak bisa menahan badannya sendiri sehingga jatuh ke badan orang lain. Mungkin juga karena di dalamnya banyak ibu-ibu yang mulai atau sudah berumur dan memang kondisi badannya tidak sekuat it